Photobucket
Photobucket

Search Here

Custom Search

10/26/2008

Apakah Anda Dibayar Terlalu Murah?


Salah satu keluhan manusia paling umum adalah tentang betapa murahnya kita dibayar. Keluhan ini muncul terutama ketika surat kenaikan gaji rutin kita terima. Betapa kenaikan take-home-pay itu tidak bisa mengimbangi kenaikan kebutuhan hidup kita. Meskipun komplain itu tidak selamanya jelek. Namun, untuk soal gaji kita perlu bertanya lagi; benarkah kita ini dibayar terlalu murah?

Ada sahabat yang getol mengomel tentang gaji. Suatu kali, kami berkesempatan makan siang setelah sekian lama tidak berjumpa. Komplain itu masih menjadi bagian dari dirinya. Lalu saya bertanya; "Memangnya elo digaji berapa?" Sebuah pertanyaan untung-untungan. Tidak dijawab juga tidak apa-apa.

"Yaaa, sekitar segini lah." Saya terbelalak karena dia begitu terbuka dengan gajinya, dan juga karena menurut hemat saya gajinya sudah tergolong besar untuk ukuran pekerjaan dan jabatan yang dia sandang.

"Pren, elu tahu rata-rata pendapatan orang Indonesia itu hanya sekitar $1,600 setahun. Artinya, cuma sekitar satu setengah juta setiap bulan. Lha, elo sudah lebih dari sepuluh kali lipat dari itu."

"Heh, elo jangan anggap gue pekerja kelas bawah gitu ye. Ya nggak berlaku lah rata-rata pendapatan semua penduduk termasuk kelas pekerja kasar dikampung-kampung dan pelosok desa tuch!" dia menukas dengan nada sengit.

"Oke, oke," saya mengangkat tangan. "Tapi, rata-rata pendapatan orang yang kerja di Jakarta pun cuma sekitar $5,167, Man. Empat setengah jutaan doang." Mata saya tertuju kearah piring. Tapi saya tahu teman saya ini melotot. "Gaji elu masih berkali-kali lipat dari itu."

"Heh, boy, udah gua bilang jangan pake rata-rata dong. Kemampuan gue juga kan diatas rata-rata!" katanya. "Dan elo juga sudah dibayar jaoooh diatas rata-rata," tangkis saya. "Ah, susah kali ngomong sama kau tuch!" Saya tidak kaget ketika dia menggebrak meja. Sifat aslinya keluar kalau sedang terdesak. "Orang harus dibayar sesuai dengan kemampuan dan kontribusinya masing-maaaasing!" Gayanya mirip Giant dalam film Dora Emon.

"Wah, kalau yang satu itu gue setuju abis, Man. Masalahnya, elu udah dibayar tinggi, masih komplen juga." Saya bilang. "Atas dasar apa elu merasa pantas mendapatkan bayaran lebih tinggi?"

"Pertama, teman gue." katanya "Diperusahaan lain dibayar lebih tinggi, padahal kemampuan gue nggak kalah dari dia." lanjutnya. "Kedua, gue udah kerja disini lebih dari lima tahun. Maasak, cuma segini-segini doang!"

"Menurut gue," saya meneguk teh botol. "ada satu cara yang lebih objektif untuk menentukan apakah elo dibayar terlalu murah atau tidak."

"Gimana?"

"Caranya," saya berhenti sejenak. "Elu harus menentukan satu hal. Yaitu; kalau elu tidak bekerja diperusahaan manapun, elu bisa mendapatkan penghasilan berapa?"

Sesendok sayur bayam masuk kemulut saya. "Nah, kalau elu dibayar dibawah angka itu, maka elu dibayar terlalu murah. Jika tidak, artinya elu sudah mendapatkan bayaran yang layak."

Saya tahu bahwa gagasan ini agak kurang lazim. Tetapi anehnya, meskipun kita tidak puas dengan bayaran yang kita terima, kita masih juga bercokol disitu. Pertanda bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk menuntut bayaran lebih dari itu. Sebab, jika kita benar-benar memiliki alternatif lain yang jauh lebih baik, tidaklah mungkin kita berdiam diri.

Mungkin, hengkang ketempat lain bisa jadi pilihan. Tidak aneh. Kalau perusahaan pesaing merekrut kita, pastilah mereka bersedia membayar ekstra dimuka. Karena, itu bagian dari strategy persaingan bisnis mereka. Kadang, perusahaan lama melakukan 'buy back' juga. Tapi hal ini tidak selalu bisa menggambarkan kemampuan dan kelayakbayaran kita sebagai individu secara utuh.

Sebab, ada 'benchmark' disetiap industry. Artinya, selalu ada saat dimana gaji kita tidak bisa naik lagi kecuali kita layak untuk dipromosi kepada jabatan dan tugas yang lebih tinggi. Makanya, tidak aneh jika ada karyawan yang direkrut dengan bayaran awal yang tinggi, tapi kenaikan gaji berkalanya tak terlalu bermakna.

Sebaliknya, jika kita bisa menentukan; 'berapa pendapatan yang bisa kita hasilkan jika tidak bekerja untuk perusahaan manapun'. Maka kita akan bisa menentukan 'nilai' kita yang sesungguhnya. Misalnya, jika kita bisa menghasilkan 30 juta sebulan, maka kita bisa bernegosiasi dengan manajemen untuk mendapatkan bayaran yang sekurang-kurangnya setara dengan itu.

Mengapa kita harus bertahan disana, jika bayarannya jauh lebih rendah dari yang bisa kita hasilkan sendiri? Namun, jika perusahaan sudah membayar kita lebih tinggi dari itu; kita tahu apa artinya itu, bukan?.

Sahabat saya menggugat: "Kalau gua bisa kerja sendiri ngapain gua disini? Dari dulu gua pasti sudah berhenti! Gua disini, karena gua nggak bisa kerja sendiri!" Betul. Disitulah point utamanya. Kita menyandarkan diri kepada perusahaan itu, tanpa ada alternatif lain yang lebih baik.

Jika demikian situasinya, bukankah akan lebih baik jika kita berfokus kepada kontribusi yang bisa kita berikan ditempat kerja?
Tanpa harus terlebih dahulu berhitung-hitung soal gaji. Sebab, jika kita hanya bisa menjadi karyawan dengan prestasi rata-rata, mengapa perusahaan harus mengistimewakan kita?
Sebaliknya, jika memang kita berprestasi sangat tinggi; tidaklah mungkin perusahaan menyia-nyiakan kita. Bahkan, kenaikan gaji 'tidak lazim' mungkin bisa kita terima tanpa terduga.

Dan, jikapun perusahaan tempat kerja kita benar-benar menutup mata; masih banyak perusahaan baik yang bersedia mempekerjakan kita, dengan bayaran yang sepantasnya. Asal kita bisa menunjukkan 'siapa sesungguhnya' kita ini.

Catatan Kaki:
Komplain itu menghabiskan energi. Lakukan, hanya jika memang itu cukup berharga.

Kisah Pohon Hidup


Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.

“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.

“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.

”Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”

Pohon apel itu menyahut,

“Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.

Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih. Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel.

“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.

“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?”

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah.Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih. Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

”Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.

”Aku sedih,” kata anak lelaki itu.

”Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”

“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah .”

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu. Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

“Maaf anakku,” kata pohon apel itu.

“Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”

“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.

“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.

”Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.

”Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki.

“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”

“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.


NOTE :
Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita. Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita.

Jangan MENIKAH


1. Jangan menikah karena harta. Tidak ada gunanya hidup bergelimangan harta tanpa cinta. Harta dapat datang dan pergi setiap saat. "Cinta" yang sesat dan sesaat dapat diperoleh setiap saat, tapi cinta yang sejati tidak dapat dibeli dengan harta.


2. Jangan menikah karena perasaan asmara Rasa tertarik, simpati, naksir, yang merupakanasmara yang sering disalahartikan sebagai cinta. Asmara itu bukan cinta. Asmara dapat cepat berubah oleh rupa, harta, tempat dan keadaan. Asmara itu buta, tidak tahan lama dan tidak tahan uji. Cinta perlu diuji dalam suka dan duka dengan mata terbuka.

3. Jangan menikah karena rupa saja Kecantikan yang diluar memang indah, tapi dapatluntur termakan umur. Utamakanlah kecantikan yang di dalam.

4. Jangan menikah karena iba. Iba (rasa kasihan) memang baik dan harus ada dalam hidup kita, tapi tidak boleh menjadi dasar pernikahan. Kasihan
dapat habis,tapi kasih tidak berkesudahan. Dasar pemikahan adalah kasih, bukan kasihan

5. Jangan menikah untuk kepuasan sex saja. Memang sex suci dan penting dalam hubungan suami-istri, namun tidak boleh menjadi tujuan utama dari pemikahan. Sex hanyalah salah satu bagian dari pernikahan. Orang yang hanya mengejar kenikmatan sex akan kecewa dan terjerat oleh kesusahan yang diciptakannya sendiri.

6. Jangan menikah karena paksaan keluarga. Seorang anak harus berbakti kepada keluarga, namun tidak boleh menyerah dalam hal nikah, kalau mereka memang salah dan anda benar. Berdoalah dan berikanlah penjelasan kepada mereka, jangan dengan kekerasan.

7. Jangan menikah karena desakan usia. Bila semakin bertambahnya usia dan rekan-rekan sudah berpasangan, orang akan mulai gelisah (terutama pada wanita). Banyak orang akhimya "asal tabrak dan sikat." Hindarilah tindakan tersebut. Sabarlah dan yakinilah bahwa Tuhan sudah menyediakan yang terbaik untuk anda. Jangan takut kehabisan jatah dan kadaluarsa.

8. Jangan menikah untuk membalas jasa Orang yang telah berbuat baik perlu dibalas, tapi jangan dengan pernikahan. Salah satu hal lain yang tidak boleh dilupakan, dan merupakan yang terpenting adalah Jangan Menikah Tanpa Pengertian Dan Persiapan Dengan tindakan Yang Nyata.


- Menikahlah Menurut Pola Rencana Allah. Daripada Salah Dan Mengundang Derita, Lebih Baik Menunggu Menikah. Jika tidak diteguhkan oleh Allah. Karena Allah yang menciptakan manusia sepasang-sepasang. Tanpa persetujuan Allah, tidak mungkin manusia dapat bersatu.

Apakah kalian setuju dengan pernyataan diatas?